Selasa, 10 Agustus 2010

Sejenak Menyapa Penghuni Penjara Terbesar di Dunia (6 Jam di Jalur Gaza)...

Catatan Perjalanan Dra Yoyoh Yusroh (Anggota Komisi VIII DPR RI) yang dimuat dalam Majalah Tarbawi



Saat pertama kali mendengar bahwa Komisi I DPR akan berangkat menuju Gaza, Palestina, saya (Dra Yoyoh Yusroh) langsung mengajukan diri untuk ikut. Yang berangkat saat itu ada 20 orang, termasuk Ketua DPR marzuki Alie dan DR Hidayat Nur Wahid. Waktu itu hanya KOmisi I saja yang rencananya akan berangkat, tapi kemudian saya mengajukan diri untuk ikut berangkat ke sana. Meskipun saya bukan dari Komisi I, akan sangat relevan jika saya ikut, karena saya yang berada di Komisi VIII mengurusi tentang anak, perempuan, dan pengungsi. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa ikut. Rombongan tersebut akan menyerahkan bantuan $ 20 juta untuk mendirikan rumah sakit di Gaza.


Terus terang, ada sedikit rasa takut, karena sebelumnya ada kejadian kapal Mavi Marmara yang diserang Israel waktu mau membawa bantuan ke Gaza. Beberapa orang relawan harus kehilangan nyawa. Saya sudah memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk jika harus kehilangan nyawa. Karenanya, saya sudah izin kepada suami dan anak-anak. Jika terjadi sesuatu pada saya, InsyaALLAH mereka akan merelakannya. Saya pikir jika gugur syahid di sana, semoga bisa merahmati 70 anggota keluarga.


Senin (28/6), pukul 10.55 waktu setempat, kami tiba di perbatasan Rafah, Mesir. Sedikit ada perasaan was was, karena meskipun kami di kawal polisi Mesir, bisa saja ada perubahan sikap yang akhirnya membuat izin kami untuk memasuki Gaza dibatalkan. Sepanjang jalan saya berdo'a, semoga ALLAH memudahkan langkah kami menuju ke sana. Alhamdulillah, saya sangat bersyukur sekali, walaupun hanya diberi kesempatan delapan jam di sana, tapi itu sangat berarti. Jantung saya berdebar cepat dibarengi rasa syukur. Akhirnya, kaki ini bisa menginjak di bumi jihad setelah beberapa kali mencoba masuk ke Gaza, beberapa waktu yang lalu.


Setelah melewati Gerbang Rafah, kami melewati zona kosong beberapa kilometer hingga sampai di pintu pos Gaza. Di sana kami dijemput oleh tentara dan anggota parlemen Hamas. Yang membuat saya terharu adalah cara penyambutan mereka, warga Palestina, kepada kami. Bayangkan, negeri mereka porak poranda akibat kekejian Israel, tapi mereka masih menjalankan protokoler sebagaimana menyambut tamu. Mereka menyiapkan untaian bunga-bunga segar dan harum yang diambil dari perkebunan mereka untuk dikalungkan ke leher kami. Di antara untaian bunga itu, terselip ucapan sambutan dari mereka, "Welcome to Gaza". Setelah itu, mereka pun menyematkan selendang perjuangan yang dirajut oleh perempuan Palestina dengan kualitas bahan yang paling baik.


Saat ini 84% wilayah Palestina sudah dikuasai Yahudi, sisanya hanya 16% yang terdiri dari Gaza dan Tepi Barat. Hanya dua daerah itu yang didiami Muslim, sisanya sudah di bawah kekuasaan Israel. Saat tiba di sana, yang pertama kali saya lihat adalah kondisi bangunan. Banyak sekali bangunan yang hancur, sehingga banyak warga yang harus tinggal di tenda-tenda.


Usai acara penyambutan, mereka mengajak kami untuk berbincang di gedung Parlemen Palestina untuk mengadakan konferensi pers bersama wartawan setempat dan wartawan Indonesia yang ikut rombongan. Tapi, kami tidak melihat gedung bertingkat layaknya sebuah gedung parlemen atau anggota dewan. Gedung mereka hancur dibom Israel, dan kami diterima di depan reruntuhan gedung yang hancur. Kami berbincang-bincang di dalam tenda dengan kursi-kursi plastik. Mirip sekali dengan rapat RT atau rapat RW di Indonesia.


Seorang pendamping kami, Mushir Al Misri, mengatakan bahwa Gaza hanya diberi jatah listrik oleh Israel empat jam dalam sehari, tapi ada juga di daerah lain di wilayah Gaza yang dapat pasokan listrik delapan jam sehari. Ketika Mushir mengatakan hal itu, tiba-tiba lampu langsung padam. Pas sekali dengan yang dia katakan. Akhirnya konferensi pers berjalan dengan keadaan tenda yang gelap gulita, hanya diterangi lampu dari kamera wartawan sebelum akhirnya lampu menyala kembali.


Konferensi pers dibuka pertama kali oleh Ahmad Bahar, Wakil Ketua Parlemen, menggantikan ketuanya, Abdul Azis, yang tengah dipenjara oleh pihak Israel. Setelah itu sambutan dilanjutkan oleh Ismail Haniya. Perdana Menteri Palestina dari Hamas ini, dalam sambutannya, ia mengucapkan terima kasih atas bantuan untuk membangun rumah sakit yang diberi nama Ar Royan di Gaza Utara. Setelah itu giliran Ketua DPR RI, Marzuki Alie yang menyampaikan sambutannya, dan diterjemahkan oleh DR Hidayat Nur Wahid ke bahasa Arab.


Di Palestina, tanahnya memang sangat subur. Dulu mereka pernah menjadi pengekspor jeruk, bunga-bunga segar, dan beberapa hasil bumi yang mereka tanam dari kebun sendiri. Mereka sendiri saat ini sedang giat-giatnya menanam pohon zaitun di atas kebun-kebun yang dihancurkan oleh Israel. Ismail Haniya mengatakan, "Kami saat ini mulai menanam. Bisa jadi bukan kami yang akan memetik hasilnya, tapi anak-anak kami." Bagi saya, itu adalah sebuah pernyataan yang menunjukkan optimisme bahwa mereka akan bangkit dan tidak pernah putus harapan. Meskipun gedung-gedung pemerintahan mereka hancur, tapi subhanallah, pemerintahan mereka tetap berjalan.


Di antara anggota parlemen perempuan dari Hamas, terdapat Jamila Al Shanti, janda Asy Syahid Abdul Aziz Ar Rantisi. Ada enam orang perempuan yang ada di pemerintahan Hamas, dua di antaranya berada di dalam penjara. Banyak dari keluarga Jamila Al Shanti yang syahid, termasuk anak-anaknya. Saya memeluk erat-erat Jamila Al Shanti. Saya katakan padanya, bahwa saya mendapat amanah untuk menyerahkan bantuan dari para muslimah Indonesia dan bantuan dari beberapa perusahaan. Karena sebelumnya di Mesir ada kesepakatan untuk tidak membawa bantuan, jadi saya memberikannya dengan diam-diam. Alhamdulillah dia mau menerimanya. Kalau saja tidak saya katakan ini amanah, mungkin dia tidak mau menerima. Bahkan, dia menitipkan surat untuk para Muslimah Indonesia dari Muslimah Palestina.


Setelah setengah jam berada di dalam tenda untuk mengadakan konferensi pers, kami diajak keluar untuk menyaksikan peletakan batu pertama peresmian pembangunan rumah sakit di tanah wakaf dengan luas satu setengah hektar. Ada kejadian mengharukan di sini. Saya melihat anak-anak berbaris rapi memainkan marching band dalam acara itu. Mereka menggunakan baju seragam dan memainkan alat musik dengan sangat semangat. Ketika mereka berparade itu, sungguh tidak menyangka, bahwa mereka adalah anak-anak yang setiap hari harus bertaruh nyawa karena kekejaman Israel. Wajah mereka yang tampak berseri-seri membuat hati saya begitu tenang.


Di antara rombongan kami, ada jendral dan kolonel yang pernah melihat kondisi di Irak. Menurut mereka, di Irak, paling tidak dalam dua tahun mereka sudah banyak yang meninggal karena kekurangan makanan atau ketidak tersediaan air. Tapi subhanallah, di Palestina, meskipun sudah menderita selama puluhan tahun, mereka masih bisa bertahan. Kalau mereka mau, mereka bisa pergi dari negeri Palestina. Tapi mereka tidak mau. Saya sampai menangis mendengar orasi seorang pemuda, dia berkata, "Kami sama dengan kalian. Hak kalian terhadap kami merupakan kewajiban kami. Salah satu hak kalian terhadap kami adalah, bahwa kami wajib bertahan di sini untuk terus berjuang. Kalau kami tidak berjuang berarti kami tidak menunaikan kewajiban kami yang merupakan hak kalian. Dan itu berarti, kami lemah. Kami harus kuat menghadapi risiko apa pun untuk memenuhi kewajiban kami ini."


Saya sungguh kagum dengan pernyataan pemuda itu, sekaligus merasa terpukul. Mereka tidak hanya memikirkan diri sendiri tapi juga memikirkan hak orang lain. Hak kita, sebagai saudara seiman. Saya merekamnya dengan air mata mengalir. Saya merasa kalau semua umat Islam memiliki sikap seperti ini, kondisi dunia akan berubah. Sekarang umat Islam banyak yang tidak menyadari hak sesama muslim.


Mereka, bangsa Palestina tidak mau terlihat sebagai bangsa yang meminta-minta. Mereka bangsa yang iffah, sekaligus bangsa yang memberi. Sampai-sampai, Menteri Dalam Negerinya berkata "Nahnu sya'bul banna' laisa sya'bul bakka" (Kami ini bangsa pembangun bukan bangsa perengek). Saya tambahkan lagi untuk mereka, yakni sya'bul atha', karena mereka bangsa yang sangat gemar memberi. Ketika kami diantar protokoler mereka naik bus, mereka tidak mau diberikan tips. Padahal kalau dipikir, mereka juga butuh. Tapi mereka tidak mau.


Saat adzan Dzuhur berkumandang, kami berbondong-bondong mencari air wudhu. Tapi mereka langsung saja sholat, karena mereka adalah orang yang senantiasa menjaga wudhu. Mereka bilang, mereka siap gugur syahid kapan saja. Ketika musuh ALLAH menembak mereka, maka mereka akan meninggal dalam keadaan suci karena menjaga wudhunya. Saya melihat orang-orang di luar, sholat di depan toko-toko mereka. Ada yang sholat jamaah bertiga atau berempat. Masjid mereka banyak yang dibombardir dan belum mampu lagi membangunnya. Yang terpenting bagi mereka adalah sholat jamah.


Kami juga melewati rumah Ismail Haniya. Tidak ada yang menyangka bahwa Perdana Menteri ini tinggal di sebuah gang sempit. Saya dengar ada camp untuk menghapal Al Qur'an. Dari sekitar 10 ribu anak, ada sekitar 2500 anak yang jadi hafidz Al Qur'an dalam waktu dua bulan. Pada bulan April lalu, jumlah penghafal konon telah bertambah menjadi 15 ribu anak. Mereka, kata menteri Dalam Negeri, tengah dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan. Mulai dari tingkat Nasional, lini terdepan pemerintahan, pejabat daerah, hingga pejabat kampung, semuanya hapal Al Qur'an.


Tidak ada guratan kesedihan di wajah anak-anak Palestina. Mereka selalu tampak ceria. Bahkan, ada salah satu anak yang kehilangan salah satu tangannya tidak mau dikasihani. Dia bilang, "Saya hanya kehilangan satu tangan. Sedang paman saya, dia syahid".


Sayang, saya tidak bisa mengunjungi dan sholat di masjid Al Aqsha, meskipun jaraknya dari Gaza hanya sekitar 100 km. Karena sekitar 1,5 juta penduduk Gaza terkurung, tanpa bantuan makanan dan obat-obatan. Banyak bahan makanan yang mereka buat sendiri. Inilah penjara terbesar di dunia. Jika ada penduduk Gaza yang pergi ke Al Aqsha, maka mereka akan dipenjara selama 100 tahun oleh Israel. Bahkan Mushir Al Misri mengatakan, terakhir dia pergi ke Al Aqsha ketika dia berusia 10 tahun.


Seperti disampaikan oleh Ustadzah Yoyoh Yusroh kepada Tarbawi.....

Tidak ada komentar: