Selasa, 09 Juni 2009

Kitab Al-I'tibar


Perkembangan satra dalam peradaban Islam memegang peranan penting dari masa ke masa. Bahkan sebelum Islam datang, bangsa Arab Jahiliyah telah terkenal sebagai bangsa penyair. Namun sastra di masa pra-Islam tersebut jumlahnya cukup terbatas, khususnya pada naskah-naskah yang tertulis.

Kesusastraan Arab kian berkembang pasca Nabi Muhammad wafat berabad kemudian, yakni pada masa daulah Abbasiyyah, dimana kejayaan Islam mencapai puncaknya. Hal ini bukan saja ditunjukkan dari banyaknya jumlah karya satra yg mampu dihasilkan, namun juga dibuktikan dari makin beragamnya genre kesusastraan Arab yg diusung oleh para sastrawan Islam. Salah satunya adalah biografi dan memoar. Selama ini, masyarakat lebih lazim mengenal sejarah dan kisah hidup Nabi Muhammad sebagai karya satra Arab yang berkaitan dengan biografi. Padahal, masih banyak biografi lainnya yang ditulis para sastrawan tentang banyak tokoh yang pernah sangat mempengaruhi peradaban Islam. Salah satunya Kitab Al-I'tibar karya Usamah Ibn Munqidh yang disempurnakan oleh Al-Safadi.

Kitab Al-I'tibar menuturkan jejak sejarah seorang Usamah Ibn Munqidh, seorang ksatria perang Salib di abad ke-12 yang sukses menjadi saudagar, kaum pelajar dan bangsawan yang terhormat di masa tuanya. Di dalamnya dijelaskan bahwa Usamah Ibn Munqidh merupakan saksi sejarah suatu zaman. Dilahirkan tepat di saat genderang Perang Salib akan dimulai, tahun 1095, tahun dimana Paus memberikan dukungan pada persiapan pemberangkatanangkatan perang pertama kaum Nasrani, juga menjadi saksi detik-detik keruntuhan Dinasti Fathimiyah di Mesir. Ia adalah teman Sholahuddin Al Ayyubi (Sultan Saladin), Sultan Mesir yang juga terkenal sebagai Panglima Perang Salib yang berasal dari Suku Kurdistan di perbatasan Irak-Iran-Turki.

Semasa hidupnya, ia mengalami negerinya terjajah di bawah pemerintahan Raja Frank. Ia menyaksikan sendiri bagaimana tentara salib merebut tanah kelahirannya, sekaligus saksi perebutan kembali Edessa pada tahun 1144 dan Yerussalem tahun 1187 oleh sahabatnya, Sultan Saladin. Di masa-masa 'damai' dimana Tentara Salib hidup berdampingan dg kaum Muslim, bahkan menetap sbg penjajah, Usamah hadir sbg 'jembatan budaya' antara kalangan ini. Di masa tuanya, Usamah menuliskan kiprahnya sebagai ksatria perang yg mjd saksi hidup peperangan yg dilaluinya. Memoarnya ini ia beri judul "Kitab Al-I'tibar", yg berarti sebuah renungan.

Kitab Al-I'tibar tdk hanya memuat fase-fase peperangan terpanjang dlm sejarah Islam, Perang Salib. Di dalamnya juga memaparkan cara-cara interaksi antara kaum Muslim dan Nasrani di semua sektor kehidupan. Usamah mengamati dg detail bagaimana masyarakat Islam berpolitik, mengembangkan budayanya, hingga interaksi budaya lainnya yg kemudian ia bandingkan dengan lifestyle yg dibawa umat nasrani. Tak heran bila kitab Al-I'tibar disebut-sebut sebagai karya sastra Arab terlengkap yang membahas tentang sosio-kultur antara Muslim dg Nasrani, dan banyak digunakan sebagai referensi utk m'pelajari kebudayaan Arab, dlm hal ini nilai2 Islam. Yang menarik, Kitab Al-I'tibar juga memaparkan tentang pengobatan Islam yg jauh lebih maju dibandingkan dg pengobatan barat yg dianggap "kejam" dan menyakitkan.

Sebenarnya, Kitab Al-I'tibar terkenal bukan karena bahasanya yg penuh dg kata2 yg puitis, spt halnya prosa2 Arab pada umumnya. Sebuah memoar yg sama mengisahkan Timur Tengah di abad yg sama juga pernah ditulis oleh Ibnu Jubair, Gubernur Valencia di Spanyol, berjudul Ar-Rihlah (Safari). Tapi para ahli sastra sepakat bahwa kitab Al-I'tibar ditulis dengan penggambaran yg hidup dlm hal detail, baik dlm menggambarkan kondisi dan gerak-gerik tokoh yg hadir di dalamnya.

Rupa-rupanya, keistimewaan Kitab Al-I'tibar inilah yg menarik perhatian sejarawan barat yg concern meneliti masalah di Timur Tengah, khususnya Islam, bernama Philip K Hitti yg kemudian menerjemahkan Kitab Al-I'tibar ini shg karya ini jg dpt dinikmati oleh masyarakat Eropa dan dunia.

Taken From: Annida No.10/XVIII Juni 2009